Sabtu, 17 Januari 2015

Mengapa ada Ulama yang Meriwayatkan Hadits Dla'if dan Maudhu'?

Sebagian di antara kita mungkin pernah menemui di beberapa kitab para ulama yang memuat hadits-hadits dla’if bahkan palsu. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi dimana kesemuanya itu dapat terangkum dalam tujuh sebab utama, yaitu :

1. Beberapa ulama memandang bahwa jika ia meriwayatkan hadits maudlu’ beserta sanadnya, maka mereka terbebas dari tanggung jawab, karena mereka merasa tidak menipu kaum muslimin dan para ulama lainnya. Ia hanyalah menuliskannya untuk mereka sebuah hadits lengkap dengan sanadnya sehingga para penuntut ilmu dapat membahas dan menelitinya hingga mencapai kesimpulan yang diharapkan. Pendapat ini dikutip oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Lisaanul-Miizaan ketika menjelaskan biografi Al-Imam Ath-Thabarani, penulis tiga kitab Mu’jam.

2. Para ulama yang menuliskan hadits-hadits dla’if atau maudlu’ ini merasa khawatir akan hilangnya sebagian ilmu pengetahuan. Namun tindakannya ini membuat samar sebagian orang yang kemudian menganggapnya sebagai hadits shahih. Mereka menuliskan hadits-hadits ini dalam rangka menjaga semua ilmu yang sampai kepadanya, sekalipun di dalamnya ada cacat, namun hal ini dilakukan dalam rangka agar ia dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik. Keterangan ini dikutip oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah ketika membicarakan beberapa kitab hadits.

3. Ada yang meriwayatkan hadits-hadits jenis ini dalam rangka memberikan peringatan darinya dan dari kejahatannya. Dengan itu, orang-orang yang membacanya dapat mengetahui hadits-hadits itu adalah dusta yang dibuat-buat, sehingga mereka dapat menghindar dari keburukannya.

Hal ini pernah dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al-Majruhiin saat menerangkan biografi Jaabir Al-Ju’fi. Ia menyebutkan bahwa Syu’bah pernah meriwayatkan hadits darinya. Ibnu Hibban kemudian menyebutkan bahwa Waki’ pernah menanyakan alasan perbuatan Syu’bah tersebut : “Anda meninggalkan riwayat si Fulan dan si Fulan, lalu kenapa Anda meriwayatkan hadits dari Jaabir Al-Ju’fiy ?”. Syu’bah menjawab :

روى أشياء لم نصبر عنها

“Aku menuliskan riwayat-riwayatnya yang membuat kita tidak sabar terhadapnya (untuk menolaknya dan membuangnya)”.

Muhammad bin Raafi’ pernah melihat Ahmad bin Hanbal duduk di majelis Yazid bin Harun dimana beliau menulis hadits Zuhair dari Jaabir (Al-Ju’fi). Muhammad bin Raafi’ bertanya : “Wahai Abu ‘Abdillah, Anda melarang kami (meriwayatkan) hadits Jaabir , namun ternyata Anda sendiri justru menuliskannya ?”. Maka beliau menjawab : “Kami mengetahui (kedla’ifan) haditsnya”.

4. Ada beberapa ulama yang meriwayatkan hadits-hadits jenis ini karena rasa fanatik mereka terhadap satu madzhab, dengan tujuan agar hadits-hadits tersebut mendukung madzhab dan pendapat mereka. Terutama, jika madzhab atau pendapatnya tersebut sesuatu yang membuatnya berani atau terlalu gampang dalam meriwayatkan hadits-hadits ini. Rasa fanatik dapat membuat seseorang dihukumi seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Mu’tamir bahwa tidak ada bedanya antara binatang ternak yang ditundukkan dengan manusia yang ikut-ikutan (taqlid).

Ada beberapa orang yang sadar bahwa pendapatnya tersebut salah, lalu ia mendapatkan sebuah hadits palsu yang dapat menopang pendapatnya, kemudian syaithan menghijab (menghalangi) dirinya dari cahaya kebenaran sehingga ia berani menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah dan pendukung pendapatnya.

5. Ketidaktahuan akan tingkatan hadits tersebut. Kadang-kadang seorang ulama meriwayatkan sebuah hadits, namun ia bukan termasuk orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai ilmu hadits. Ia meriwayatkan hadits ini dengan anggapan bahwa hadits tersebut shahih atau ia bertaqlid kepada orang-orang sebelumnya. Hal ini merupakan realitas yang nyata bahwa ada sebagian ulama yang menonjol dalam satu bidang ilmu tertentu, namun ia tidak menonjol di bidang ilmu yang lain. Kenyataan ini berdasarkan kecenderungan masing-masing orang. Maka Anda akan menjumpai seorang ahli di bidang ilmu nahwu dan bayan, akan tetapi ia tidak banyak mengetahui ilmu hadits. Sebaliknya, Anda menjumpai seseorang yang ahli di bidang ilmu hadits, ia mengenal betul mengenai ilmu ’ilal hadits dan sanad-sanad hadits, akan tetapi sering ditemukan kerancuan dalam kalimat-kalimat yang dilontarkannya.

Apa yang diungkapkan ini adalah sesuai dengan ungkapan Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkiratul-Huffadh ketika menerangkan biografi Al-Hulaimi, seorang ulama madzhab Syafi’iyyah dalam hadits yang berbunyi :

لِصَاحِبِ الْقُرْانِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ خَتْمِهِ

”Seorang yang sering membaca Al-Qur’an memiliki doa mustajab ketika ia mengkhatamkannya”.
Adz-Dzahabi menuturkan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Abi ’Ishmah Nuh Al-Jami’ Al-Marwadzi, seorang yang menurut Adz-Dzahabi memiliki segudang ilmu; namun sayangnya haditsnya ditinggalkan orang.

Lebih lanjut Adz-Dzahabi mengatakan :

فكم من امام في فن مقصر عن غيره كسيبويه مثلا امام في النحو ولا يدري ما الحديث ووكيع امام في الحديث ولا يعرف العربية وكأبي نواس راس في الشعر عري من غيره وعبد الرحمن بن مهدي امام في الحديث لا يدري ما الطب قط وكمحمد بن الحسن راس في الفقه ولا يدري ما القراءات وكحفص امام في القراءة تالف في الحديث وللحروب رجال يعرفون بها

”Berapa banyak ulama yang menjadi imam dalam bidang ilmu tertentu namun tidak pada yang lainnya. Seperti halnya Sibawaih, imam dalam ilmu nahwu, namun ia tidak mengerti apa itu hadits. Waki’, imam di bidang hadits, namun ia tidak mengetahui bahasa Arab. Abu Nawas, seorang yang lihai di bidang sya’ir, namun nihil di bidang lainnya. ’Abdurrahman bin Mahdi, seorang imam dalam ilmu hadits, namun tidak mengetahui ilmu kedokteran. Muhammad bin Al-Hasan, seorang imam dalam ilmu fiqh, namun tidak mengerti ilmu qira’at. Hafsh, seorang imam dalam ilmu qira’at, namun tidak memiliki andil dalam ilmu hadits. Intinya, masing-masing medan keilmuan memiliki tokoh-tokoh yang mengerti akan medan tersebut...”.

6. Ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa banyaknya sanad/jalur periwayatan dapat mengangkat suatu hadits mencapai tingkatan tertentu yang dapat dijadikan hujjah. Kaidah ini pada prinsipnya benar, namun tidaklah berlaku mutlak, karena ada beberapa hadits yang jika dikumpulkan semua jalannya tetap tidak akan mengangkat derajat hadits tersebut sedikitpun. Tidak lain karena terlalu parahnya tingkat kedla’ifannya. Dan hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang berstatus matruk, dicurigai melakukan kedustaan (muttaham bil-kidzb), atau pendusta; maka ia tidaklah bisa terangkat dengan banyaknya jalur periwayatan.

7. Terlalu gampang dalam menghukumi hadits-hadits yang tidak berkaitan dengan hukum. Terutama mereka yang berlebihan dalam membela pendapat dapat digunakannya hadits dla’if pada perkara keutamaan amal (fadlaailul-a’mal) tanpa memperhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan para ulama. Hingga ada beberapa ulama yang memasukkan hadits-hadits palsu ke dalam katagori ini.

Itulah tujuh sebab yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Muhammad As-Sadhan hafidhahullah. Semoga ada manfaatnya.

Bolehkah Mengamalkan Hadits Dla'if?

Dr. Muhammad 'Ajaj Al-Khathib mengatakan ada tiga pendapat di kalangan ulama’ mengenai penggunaan hadits dla’if, yaitu :
1. Hadits dla’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam fadlail maupun persoalan yang menyangkut tentang ahkam (hukum syari’ah). Hal tersebut dikhabarkan oleh Ibnu Sayyidin-Naas dari Yahya bin Ma’in, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Al-Arabi. Pendapat ini tampaknya merupakan pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim (berdasarkan kriteria-kriteria yang kita pahami dari keduanya), dan Ibnu Hazm Al-Andalusi. Selain itu, pendapat ini juga merupakan pendapat dari Malik, Syu’bah, Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Syammah Al-Maqdisi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Asy-Syaukani, dan jumhur ahli hadits kontemporer.
2. Hadits dla’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Dawud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits dla’if lebih kuat daripada ra’yu (rasio) perseorangan. Ibnul-Qayyim berkata :
ليس المراد بالضعيف عنده الباطل ولا المنكر ولا ما في روايته متهم بحيث لا يسوغ الذهاب إليه فالعمل به بل الحديث الضعيف عنده قسيم الصحيح وقسم من أقسام الحسن ولم يكن يقسم الحديث إلى صحيح وحسن وضعيف بل إلى صحيح وضعيف وللضعيف عنده مراتب فإذا لم يجد في الباب أثرا يدفعه ولا قول صاحب ولا إجماعا على خلافه كان العمل به عنده أولى من القياس
”Tidaklah yang beliau (Imam Ahmad) maksudkan hadits dla’if yang bathil, yang munkar, serta bukan riwayat yang mengandung perawi yang muttaham (tertuduh), sekiranya dilarang mengambil dan mengamalkannya; tetapi hadits dla’if menurut beliau adalah lawan dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dla’if; tetapi menjadi shahih dan dla’if. Yang dla’if menurut beliau terdiri dari beberapa tingkatan. Dan apabila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang menolaknya atau pendapat seorang shahabat atau ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas (analogi)” ( I’lamul-Muwaqqi’iin (1/31)
Imam Ahmad tidak akan mengamalkan hadits dla’if kecuali dalam bab yang bersangkutan tidak ada yang lainnya, dan di antara hadits dla’if itu ada yang berkualitas hasan (menurut terminologi ulama sesudahnya).
3. Hadits dla’if bisa digunakan dalam masalah fadlail, mawa’idz (nasihat), atau yang sejenis; bila memenuhi beberapa syarat berikut :
a. Kedla’ifannya tidak terlalu; sehingga tidak termasuk di dalamnya seorang pendusta atau yang dituduh berdusta – yang melakukan penyendirian dan juga orang yang sering melakukan kesalahan. Al-Ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai syarat ini. 
b. Hadits dla’if itu termasuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan.
c. Ketika mengamalkan tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.
Syarat lainnya adalah :

a. Hadits tersebut tidak boleh di-i’tiqadkan/diyakini sebagai sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, karena pada hakekatnya hadits dla’if mengandung persangkaan yang salah (adh-dhannul-marjuh). Telah berkata Imam Ath-Thahawiy dalam kitab Musykilul-Aatsar (1/107 – Maktabah Al-Misykah) :
مَنْ حَدَّثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا بِالظَّنِّ مُحَدِّثًا عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ مُحَدِّثٌ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ كَاذِبٌ عَلَيْهِ كَأَحَدِ الْكَاذِبِينَ عَلَيْهِ الدَّاخِلِينَ فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ { مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ } وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ تَعَالَى مِنْ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dengan dasar dhan (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan tanpa haq, dan termasuk orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang bathil. Niscaya ia menjadi salah satu pendusta yang masuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”. Na’udzubillahi min-dzaalik !
b. Hadits tersebut tidak boleh dimasyhurkan. Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar, apabila hadits tersebut dimasyhurkan (yakni di angkat ke permukaan sehingga dikenal ummat secara luas), niscaya ia terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
c. Wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dla’if ketika membawakannya. Apabila tidak, niscaya ia akan terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah ketetapan para muhaqiq dari ahli hadits dan ahli ushul sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (Lihat Tamaamul-Minnah hal. 32 oleh Al-Albani).
d. Dalam membawakannya, tidak boleh menggunakan lafadh-lafadh jazm yang menunjukkan ketetapan dan kepastian bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar bersabda dan yang semisal. Wajib menggunakan lafadh-lafadh tamridl (= lafadh yang tidak menunjukkan suatu ketetapan).
Kemudian Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib kembali berkata,”Tidak ragu lagi, pendapat pertama merupakan pendapat yang paling selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih tentang fadlail, targhib, dan tarhib, yang merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hal tersebut membuat kita tidak perlu meriwayatkan hadits-hadits dla’if mengenai masalah fadlail dan sejenisnya; lebih-lebih bab fadlail dan akhlaq yang termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal tersebut dengan hukum-hukum, ditinjau dari segi kekuatan sumbernya (shahih atau hasan), sehingga sumbernya harus khabar-khabar yang bisa diterima”. ( Ushulul Hadits oleh Dr. Muhammad ’Ajaj Al-Khathib, halaman 253) 
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah Berkata :
المنقولات فيها كثير من الصدق وكثير من الكذب والمرجع في التمييز بين هذا وبين هذا إلى أهل الحديث كما يرجع إلى النحاة في النحو ويرجع إلى علماء اللغة في ما هو من اللغة وكذلك علماء الشعر والطب وغير ذلك فلكل علم رجال يعرفون به
”Berita-berita yang dinukil bisa mengandung banyak kebenaran dan banyak kebohongan. Untuk membedakan keduanya adalah dengan kembali kepada ahli hadits (dalam masalah hadits), sebagaimana ilmu nahwu dikembalikan kepada ahli nahwu atau ilmu lughah (bahasa) kepada ahli lughah. Begitu pula ahli syair, pengobatan, dan yang lainnya. Jadi setiap ilmu ada pakar yang mendalaminya” [Dinukil dari Qawa’idut-Tahdits min Funun Musthalahil-Hadits, oleh Jamaluddin Al-Qasimi, halaman 156 – Maktabah Al-Misykah].

Kamis, 08 Januari 2015

Takhrij Atsar Ibnu Mas'ud tentang Pelarangan Dzikir Berjama'ah. Benarkah Nilainya Dha'if?

Di Sebuah situs ( http://salafytobat.wordpress.com/2010/02/06/hadits-riwayat-ibnu-masud-yang-melarang-dzikir-berjamaah-adalah-dhaif/ ) di sebutkan bahwa Atsar dari Ibnu mas'ud yang melarang berdzikir berjama'ah adalah Dha'if.

Dikatakan oleh situs tersebut : " Hujjah yang dikemukakan ini, adalah atsar (perbuatan) Abdullah bin Mas`ud r.a.. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daarimi dalam sunannya, jilid 1 halaman 68, dengan sanad dari al-Hakam bin al-Mubarak dari ‘Amr bin Yahya dari ayahnya dari datuknya (Amr bin Salamah). Menurut sebagian muhadditsin, kecacatan atsar ini adalah pada rawinya (rawi : periwayat) yang bernama ‘Amr bin Yahya (yakni cucu Amr bin Salamah). Imam Yahya bin Ma`in memandang “riwayat daripadanya tidak mempunyai nilai”. Imam adz-Dzahabi menerangkannya dalam kalangan rawi yang lemah dan tidak diterima riwayatnya, dan Imam al-Haithami menyatakan bahwa dia adalah rawi yang dhoif. "

Begitulah adanya, benarkah Atsar tersebut Dha'if ? Benarkah seorang perawi yang bernama 'Amr bin Yahya tidak memiliki nilainya?

Al-Imaam Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya (no. 210 – tahqiq : Husain Salim Asad) membawakan riwayat sebagai berikut :

أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ للهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.

“Telah memberi khabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubaarak : Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata : Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata : Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu, seraya bertanya : “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu ?”. Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata : ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka ?”. Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”. Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka : “Benda apa yang kalian pergunakan ini ?”. Mereka menjawab : “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya ! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?”. Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami : ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”. ‘Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij”


Berikut penjelasan para perawi yang membawakan atsar tersebut :

1. Al-Hakam bin Al-Mubaarak Al-Khaasyitiy Al-Balkhiy, Abu Shaalih.

Ia telah ditsiqahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibbaan, Ibnu Mandah, dan As-Sam’aaniy. Ibnu ‘Adiy saat menyebutkan dalam biografi Ahmad bin ‘Abdirrahman Al-Wahbiy mengatakan ia termasuk orang yang mencuri hadits. Namun dalam hal ini, Ibnu ‘Ady bersendirian dalam penyebutannya. Adz-Dzahabiy mengatakan bahwa ia seorang yang jujur (shaduuq). Di lain tempat, ia (Adz-Dzahabiy) mengatakan tsiqah. Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia seorang yang jujur terkadang salah (shaduuq rubamaa wahm).
[Mizaanul-I’tidaal 1/579 no. 2196, Al-Kaasyif 1/345 no. 1189, Tahdziibul-Kamaal 7/131-133 no. 1442, Tahdziibut-Tahdziib 1/469, Taqriibut-Tahdziib hal. 264 no. 1466, Al-Kaamil 1/304, dan Al-Ansaab 5/21].

Yang nampak di sini bahwa Al-Hakam adalah seorang yang tsiqah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli hadits. Adapun tuduhan mencuri hadits sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adiy, maka ini tidak benar.

2. ‘Amru bin Yahyaa bin ‘Amr bin Salamah Al-Hamdaaniy.

Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Haditsnya tidak ada nilainya”, sebagaimana dibawakan Adz-Dzahabiy [Miizaanul-I’tidaal 3/293 no. 6474 – dan dari nukilan Ibnu Ma’iin inilah Adz-Dzahabiy menempatkan ‘Amr bin Yahyaa dalam kitab Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ 2/156 no. 4730]. Namun dalam Al-Jarh wat-Ta’diil, Ibnu Abi Haatim mengatakan : “Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdurrahman, ia berkata : Ayahku menyebutkan dari Ishaaq bin Manshuur, dari Yahyaa bin Ma’iin, bahwasannya ia berkata : ‘’Amru bin Yahyaa bin Salamah tsiqah” [6/269 no. 1487]. Tarjih atas perkataan Ibnu Ma’iin terhadap ‘Amru bin Yahyaa adalah bahwasannya ia tsiqah, karena ta’dil ini dibawakan oleh ulama mutaqaddimiin dengan membawakan sanadnya. Adapun nukilan Adz-Dzahabiy; maka sependek pengetahuan saya tidak terdapat dalam Taariikh Ibnu Ma’iin ataupun sumber-sumber lain yang bersanad sampai Ibnu Ma’iin.

Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (8/480). Ibnu Khiraasy berkata : “Ia bukan seorang yang diridlai” [Liisaanul-Miizaan 6/232 no. 5852]. Al-Haitsamiy dalam Majma’uz-Zawaaid (3/84) melemahkannya.

Perkataan yang benar tentang diri ‘Amr bin Yahyaa bin ‘Amr adalah ia seorang yang tsiqah. Apalagi tautsiq ini salah satunya diberikan oleh Ibnu Ma’iin yang terkenal sebagai ulama mutasyaddid dalam jarh. Ta’dil lebih didahulukan daripada jarh, kecuali jarh tersebut dijelaskan sebabnya – sebagaimana ma’ruf dalam ilmu hadits. Di sini, jarh yang diberikan tidak disebutkan alasannya. Selain itu, Ibnu Abi Haatim juga menyebutkan sekelompok perawi tsiqat telah meriwayatkan darinya sehingga lebih menguatkan lagi pen-tautsiq-an terhadapnya.

3. Yahyaa bin ‘Amr bin Salamah Al-Hamdaaniy.

Al-‘Ijilliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/356 no. 1990]. Ibnu Abi Haatim menyebutkannya dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (9/176) tanpa menyertakan adanya jarh maupun ta’dil-nya. Sejumlah perawi meriwayatkan darinya di antaranya : Syu’bah, Ats-Tsauriy, Al-Mas’uudiy, Qais bin Ar-Rabii’, dan anaknya (‘Amr bin Yahyaa). Yang menguatkan tautsiq atas diri Yahyaa adalah periwayatan Syu’bah darinya (dimana telah dikenal bahwa Syu’bah tidak meriwayatkan dari seseorang melainkan ia adalah tsiqah menurut penilaiannya).

Yahyaa bin ‘Amr ini diikuti oleh Mujaalid bin Sa’iid sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (9/136). Mujaalid ini seorang perawi dla’iif (dalam hapalan), namun bisa dijadikan i’tibaar.

4. ‘Amru bin Salamah

Al-‘Ijiliiy berkata : “Orang Kuufah, taabi’iy tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/356 no. 1990]. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/172). Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, namun mempunyai sedikit hadits” [Ath-Thabaqaat 6/171]. Ibnu Hajar berkata : “Orang Kufah, tsiqah” [At-Taqriib hal. 737 no. 5076].

Dari data di atas, terlihat bahwa atsar ini adalah shahih. Bukan dla’iif sebagaimana disangkakan oleh Salafytobat

. Apalagi, atsar ini dibawakan dalam banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan lainnya sehingga tidak ada kata lain selain mengatakan atas keshahihannya. Silakan lihat selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2005 oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Takhrij Al-I’tisham lisy-Syaathibi oleh Asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan Alu Salmaan 2/323-325, dan Tahqiq Sunan Ad-Daarimiy 1/287-288 oleh Husain Saliim Asad.


Rabu, 07 Januari 2015

Status Hadits tentang Perintah Membunuh Syi'ah

Tentu kita sepakat, bahwa Syi’ah bukan dari Islam. Di sosial media, seperti Facebook, bukan hal yang mengejutkan lagi jika banyak dari saudara muslim kita yang terus berperang melawan syubhat-syubhat kaum Majusi ( syi’ah ). Beragam dalil di bawakan untuk menjatuhkan kaum Majusi tersebut. Namun, ada satu dalil yang membuat saya tertarik. Dalil ini sering di share di facebook. Dalil itu adalah :
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata:

 “Aku pernah berada di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Ali. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai ‘Ali, kelak akan ada satu kaum dari umatku yang mengklaim mencintai kami, yaitu Ahlul-Bait. Mereka dijuluki dengan Raafidlah. Bunuhlah mereka, karena mereka orang-orang musyrik”.

Semangat saya bertambah ketika membaca hadits ini. Namun, muncul banyak pertanyaan dalam benak saya. Apakah hadits ini shahih? Apa benar hadits ini dari Nabi? Di tambah lagi, tidak ada di cantumkan siapa yang meriwayatkan, dan juga tidak ada di sebutkan nilai sanad hadits ini. Semakin hari, semakin gencar hadits ini di sebarkan di kalangan kaum muslim. Rasa penasaran saya akan kedudukan hadits ini makin meningkat, hingga saya mencoba untuk mencari tahu kedudukan hadits ini.

Tujuan saya dalam hal ini adalah agar kaum muslimin tidak mudah menyampaikan sebuah hadits yang belum tahu kedudukannya, walaupun matan atau isi hadits tersebut mendukung apa yang kita lakukan. Saya sangat setuju dengan kekafiran Syi’ah, dan saya sangat setuju jika kaum Majusi tersebut hilang dari muka bumi karena kerusakan Aqidah dan ‘amaliyah mereka, namun kita harus tetap ingat, kita punya aturan. Dan salah satu aturan dari Agama kita adalah “ Jangan Berdusta atas Nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam “

Hadits yang kita bahas ini, tidak kita ketahui nilai sanadnya, siapa yang meriwayatkannya, namun kenapa kita dengan mudah menyampaikannya bahkan mengatakan ini dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam hanya karena hadits ini mendukung apa yang kita yakini. Tidakkah terbesit di hati kita rasa takut berdusta atas nama Nabi? Bagaimana jika hadits tersebut palsu? Jika kita menyampaikan hadits palsu, sama saja kita mendukung berdusta atas nama Rasulullah. Maka marilah lebih teliti dalam menyampaikan hadits. Anda bisa baca tulisan saya sebelumnya tentang adab menyampaikan hadits di (http://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2014/05/28/30629/berhatihatilah-dalam-menyampaikan-hadits/#sthash.dbUfkV0y.dpbs

Kembali pada masalah hadits tadi. Alhamdulillah sudah saya temukan nilai sanad dan yang meriwayatkannya.
Hadits ini Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2586, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab 1/521 no.697, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah 1/509-510 no. 651 & 1/538 no. 702, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 12/242 no. 12997 & 12998, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) 2/475 no. 981, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 4/95-96, dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 6/548; semuanya dari jalan Hajjaaj bin Tamiim, dari Maimuun bin Mihraan, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’.

Di dalam sanad hadits ini, terdapat seorang perawi yang bernama Hajjaj bin Tamiim, seorang yang dl’aiif yang meriwayatkan hadits-hadits ghariib dari Maimuun bin Mihraan.

An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Al-Azdiy berkata : “Dla’iif”. Al-‘Uqailiy berkata : “Ia meriwayatkan dari Maimuun bin Mihraan hadits-hadits yang tidak ada mutaba’ah-nya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia tidak mempunyai banyak riwayat. Riwayat-riwayatnya tidaklah lurus”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat [Tahdziibut-Tahdziib, 2/199 no. 366]. Ibnu Hajar berkata : “Dla’iif” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 222 no. 1128].

Di dalamnya juga terdapat seorang perawi yang bernama Maimuun bin Mihraan, ia mempunyai mutaba’ah dari ‘Ikrimah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 6/261. Ibnu ‘Adiy mengatakan hadits tersebut baathil, karena tidak ada yang meriwayatkannya selain ‘Amru bin Makhram, dan (tidak diketahui ada yang meriwayatkan) dari ‘Amru (selain) Ahmad bin Muhammad Al-Yamaamiy. Keduanya dla’iif.

Ibnu ‘Abbaas mempunyai mutaba’ah dari :

1.‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.

Ada beberapa jalan:

a.  Abu Sulaimaan Al-Hamdaaniy.

Terdapat perselisihan dalam sanadnya.

Diriwayatkan oleh Ibnul-A’raabiy dalam Mu’jam-nya 2/761-762 no. 1539 : Telah mengkhabarkan kepada kami Az-Za’faraaniy : Telah menceritakan kepadaku Syabaabah bin Sawwaar : Telah mengkhabarkan kepada kami Fudlail bin Marzuuq, dari Abu Janaab Al-Kalbiy, dari Abu Sulaimaan Al-Hamdaaniy, dari ‘Aliy secara marfuu’.

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Bisyraan dalam Al-Amaaliy 1/218 dari jalan Hamzah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah : Telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Marzuuq, dari Abu Janaab, dari Abu Sulaimaan Al-Hamdaaniy, dari ayahnya, dari ‘Aliy secara marfuu’.

Diriwayatkan oleh Ibnul-A’raabiy dalam Mu’jam-nya no. 250 & 1540 dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2803 : Semuanya dari Fudlail bin Marzuuq, dari Abu Janaab, dari Abu Sulaimaan Al-Hamdaaniy, dari seorang laki-laki kalangan kaumnya, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’.

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah 2/547-548, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 9/51, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 42/335 : Semuanya dari jalan Abu Yahyaa Al-Himmaaniy, dari Abu Janaab Al-Kalbiy, dari Abu Sulaimaan Al-Hamdzaaniy atau An-Nakha’iy, dari pamannya, dari ‘Aliy secara marfuu’.

Sanad ini sangat lemah lemah karena faktor :

·Abu Sulaimaan Al-Hamdaaniy; seorang majhuul yang meriwayatkan khabar munkar [Miizaanul-I’tidaal, 4/533 no. 10267].

·Abu Janaab Al-Kalbiy, seorang yang lemah dan banyak melakukan tadlis [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1052 no. 7587]. Ibnu Hajar rahimahullah memasukkannya dalam thabaqah terakhir para perawi mudallis [Ta’riifu Ahlit-Taqdiis, hal. 146 no. 152].

·Idlthiraab dalam sanadnya dimana kadang disebutkan Abu Sulaimaan Al-Hamdaaniy meriwayatkan dari ‘Aliy secara langsung, kadang melalui perantara ayahnya atau seorang laki-laki dari kaumnya.

b. Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy (atau shahabat ‘Aliy yang lain).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 979 : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami  Abu Sa’iid Muhammad bin As’ad At-Taghlibiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abtsar bin Al-Qaasim Abu Zubaid, dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Ali secara marfuu’.

Sanad riwayat ini sangat lemah karena Muhammad bin As’ad, seorang munkarul-hadiits sebagaimana dinyatakan Abu Zur’ah dan Al-‘Uqailiy [Tahdziibut-Tahdziib, 9/46-47 no. 52].

Diriwayatkan juga oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah no. 1538 : Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Daawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Syabbah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’iid Al-Ahwal, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abtsar bin Al-Qaasim Abu Zubaid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hushain, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy atau yang lainnya dari kalangan shahabat ‘Aliy, dari ‘Aliy secara marfuu’.

Sanad riwayat ini sangat lemah karena Muhammad bin Sa’iid Al-Ahwal, seorang yang majhuul, belum ditemukan biografinya. Kemungkinan ia adalah Muhammad bin As’ad, karena Ibnu Hibbaan dan Ibnu Hajar menyebutkan penyandaran lain darinya adalah Muhammad bin Sa’iid [Tahdziibul-Kamaal 24/430 dan Taqriibut-Tahdziib, hal. hal. 825 no. 5763].

c. Asy-Sya’biy.

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 4/329-330 : Telah menceritakan kepada kamu Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ismaa’iil Ash-Shaffaar Al-Baghdaadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Ishmah ‘Ishaam bin Al-Hakam Al-‘Ukbariy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jamii’ bin ‘Abdillah Al-Bashriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sawwaar Al-Hamdaaniy, dari Muhammad bin Juhaadah, dari Asy-Sya’biy, dari ‘Aliy secara marfuu’.

Sanadnya sangat lemah, karena Sawwaar bin Mush’ab Al-Hamdaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-A’maa Al-Muadzdzin; seorang yang matruuk [Lisaanul-Miizaan, 4/216-217 no. 3736].

d. Kaisaan Al-Bakriy.

Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2806 : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muhammad Al-Baghawiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Marwaan bin Mu’aawiyyah, dari Hammaad bin Kaisaan, dari ayahnya, dari ‘Aliy secara mauquuf.

Sanad riwayat ini sangat lemah karena Hammaad bin Kaisaan dan ayahnya adalah seorang yang majhuul. Adapun Suwaid bin Sa’iid, seorang yang shaduuq bagi dirinya, namun ketika ia mengalami kebutaan, ia ditalqinkan yang bukan haditsnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 423 no. 2705].

Kesimpulan riwayat ‘Ali ini adalah sangat lemah lemah dengan keseluruhan jalannya.

2. Faathimah bintu Muhammad.

Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 6749, Ibnul-‘Arabiy dalam Mu’jam-nya no. 1549, dan Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah no. 1536-1537; semuanya dari jalan Abul-Jahhaaf Daawud bin Abi ‘Auf, dari Muhammad bin ‘Amru Al-Haasyimiy, dari Zainab bintu ‘Aliy, dari Faathimah bintu Muhammad secara marfuu’.

Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara Zainab bintu ‘Aliy dengan Faathimah radliyallaahu ‘anhaa.

Diriwayatkan juga oleh Abusy-Syaikh dalam Thabaqaatul-Muhadditsiin no. 258 & 1126; semuanya dari jalan Ismaa’iil bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Ghaalib, dari Abul-Jahhaaf, dari Abu Ja’far, dari Faathimah Ash-Shaghiir, dari Faathimah Al-Kubraa secara marfuu’.

Sanad riwayat ini munkar, karena ‘Utsmaan bin Ghaalib adalah majhuul. Abusy-Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Nashiir, ia berkata bahwa ‘Utsmaan bin Ghaalib tidaklah meriwayatkan hadits kecuali hadits ini. Selain itu, yang ma’ruuf dari Abul-Jahhaaf adalah ia meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amru. Wallaahu a’lam.

Ad-Daaraquthniy rahimahullah membawakan banyak perselisihan dalam sanad riwayat ini, lalu berkata:

وَالْحَدِيثُ شَدِيدُ الاضْطِرَابِ

“Hadits ini sangat goncang (idlthiraab)” [Al-‘Ilal, 15/177-180].

3.Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 980, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 6605, Ibnul-‘Arabiy dalam Mu’jam-nya no. 1548, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 1535, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2801; dengan sanad yang berselisihan yang berporos pada Sawwaar bin Mush’ab.

Sanad riwayat ini sangat lemah dikarenakan Sawwaar bin Mush’ab, seorang yang matruuk [Lisaanul-Miizaan, 4/216-217 no. 3736].

Ibnul-Jauziy rahimahullah setelah membawakan hadits dari jalan Faathimah, berkata:

هَذَا لا يَصِحُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ini tidak shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-‘Ilal no. 255].

Al-Baihaqiy rahimahullah:

وَرُوِيَ فِي مَعْنَاهُ مِنْ أَوْجُهٍ أُخَرَ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Diriwayatkan dalam maknanya dari jalan-jalan yang lain yang kesemuanya lemah, wallaahu a’lam” [Dalaailun-Nubuwwah, 6/548].

Kesimpulan : Hadits tentang perintah membunuh orang-orang Raafidlah adalah lemah dengan keseluruhan jalannya, wallaahu a’lam.

Selasa, 06 Januari 2015

Ketika Neraka Tidak Di Takuti Lagi

Jika saya tanya apakah anda takut di masukkan Allah kedalam neraka? Anda pasti akan menjawab iya, seratus persen akan menjawab Aku takut masuk neraka, aku tidak sanggup masuk neraka. Tapi rasanya perkataan itu hanya terucap pada lisan saja, kita mengaku takut akan masuk neraka, tetapi kita berani melakukan amalan-amalan yang menjerumuskan kita kedalam neraka.

            Ya Allahu Rabbi. Jika kita terus mengingat neraka, apalagi Allah tampakkan neraka kepada kita, pasti kita tidak akan pernah tersenyum, tertawa, bahagia selama-lamanya. Karena betapa dahsyatnya siksa neraka. Apakah kita tidak merasa khawatir akan neraka? Neraka adalah seburuk-buruk tempat. Allah ta’ala berfirman “Dan orang-orang yang berkata “ Ya Tuhan kami, jauhkan adzab Jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman” ( Al Furqan : 65-66 )

            Renungilah akan hal ini, apakah kita tidak takut masuk kedalam golongan Ahlun Nar, apakah kita tidak takut api yang panasnya tujuh puluh ribu kali lipat panasnya dibanding apai yang paling panasa di dunia menyentuh kulit kita? Sampai kapan kita terus melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kita kepada neraka. Kita mengaku takut kepada neraka, tetapi sikap kita justru ingin masuk neraka. Na’udzubillah. Jagalah diri kita dari apai neraka, takutlah kepada neraka yang isinya adalah adzab-adzab Allah dan kemurkaan Allah. Allah ta’ala berfirman “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” ( At Tahrim : 6 ) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda “Jagalah diri kalian dari api neraka, walaupun dengan sebutir korma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka hendaklah dengan kalimat thayyibah” ( Hr. Muslim )

Yusuf bin Athiyah, meriwayatkan dari Ma’la bin Ziyad, ia berkata “Suatu ketika Haram bin Hayyan pernah keluar pada malam hari dan berteriak dengan suara lantang, “Saya sangat heran, kenapa orang yang berharap surga justru tertidur lelap, tidak mengejarnya, dan orang yang benci neraka tertidur, tidak mau lari darinya?” Kemudian dia membaca sebuah ayat “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur”

            Iya benar, mengapa kita yang katanya takut kepada neraka malah terlena dengan dunia, membuang waktu untk hal-hal yang tidak bermanfaat, padahal waktu itu bisa manfaatkan untuk beramal dengan amaln para penduduk surga. Namun kita lalai, bahkan diantara kita membuang waktu dan umurnya hanya untuk melakukan maksiat. Kita adalah para pendusta yang mengaku takut tapi berani melakukan apa yang kita takutkan. Sekarang coba anda bakar jari anda di sebuah lilin, apakah sakit? Pasti anda menjawab iya. Sekarang renungkan, api kecil yang ada di lilin saja sudah membuat anda tersiksa, apalagi neraka yang sangat dahsyat. Mengapa kita justru berani mendekatinya dengan melakukan maksiat?

Abu Mahdi berkata “Sufyan Ats Tsauri selalu tidur lebih awal dan terbangun pada malam harinya, kemudian ia menyeru “ Api neraka, api neraka, saya sibuk memikirkan api neraka daripada tidur dan syahwat” Kemudian ia wudhu, dan setelah itu berdoa “ Ya Allah, sesungguhnya Engkau lebih mengetahui kebutuhanku, yang tidak diketahui orang lain. Saya hanya memohon kepadaMu, agar selamat dari api neraka”

Dari Atha’ Al Khurasani radiyallahu’anhu, ia berkata “ Uwais Al Qarni pernah berhenti pada dua tempat pengolahan besi, kemudian ia memperhatikan para pekerja, bagaimana mereka memanaskan besi itu sehingga meleleh, ia juga mendengarkan suara api membakar besi itu, kemudian ia terdiam.

Allah ta’ala berfirman “ Sesungguhnya kami telah siapkan bagi orang-orang yang zhalim siksaan api neraka yang gejolaknya mengepung mereka” ( Al Kahfi : 29 ) perhatikanlah dan resapilah maknanya, dineraka itu sangat panas, saya tentu tidak dapat membuat perumpamaan panasnya seperti apa, yang jelas, api di dunia ini saja sudah sangat panas, apalagi api neraka! Para penduduk neraka pasti akan merasakan kehausan, karena di dalamnya sangat panas, dahaga memuncak tidak tertahankan, mereka berteriak meminta air minum! Maka Allah akan memberi mereka minum.  Allah ta’ala berfirman “ Dan jika mereka meminta minum, niscaya akan diberi minuman air seperti logam yang terlebur dan menghanguskan muka mereka. Itulah seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang paling buruk”( Al Kahfi : 29 ) Di lain ayat “Apakah yang demikian itu sama dengan penderitaan orang-orang yang kekal dalam neraka, yang diberi minuman air yang mendidih, sehingga putus-putus usus perut mereka” (Muhammad : 15 ) Dan ayat lain “Di hadapannya terdapat neraka Jahannam dan dia akan diberi minuman dari nanah. Di paksakan meminum nanah itu, tetapi ia tidak dapat menelannya, lalu datang kepadanya bahaya maut dari seggala penjuru, tetapi ia tidak juga mati dan dihadapannya terdapat siksaan yang amat keras” (Ibrahim : 16-17)

Imam Ahmad bin Hanbal berkata “ Rasa takut akan siksaan neraka menghalangiku untuk makan dan minum” Sa’ad bin Ibrahim, ia berkata “Abdurrahman di beri makanan untuk berbika, ketiak dia sedang puasa, kemudian ia membaca ayat “Sesungguhnya di sisi kami ada belenggu yang berat dan neraka. Serta makanan yang mencekik leher dan siksaan yang pedih” Maka ia menangis sejadi-jadinya dan tidak berbuka, sampai makanannya diambil kembali oleh si pemberi.

Menjadi Kuat Ala Sunnah? Ini Solusinya

Allah ta’ala berfirman yang artinya Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. ( Al Fushshilat : 34)
            Tentu dari kita pasti pernah dibuat kesal oleh seseorang, dibuat marah oleh seseorang atau di sikapi dengan tidak baik oleh seseorang. Benar bukan? Lalu bagaimana sikap kita ketika kita disikapi dengan sikap yang buruk oleh orang lain? Apakah kita harus marah? Apakah kita harus memukulnya? Apakah kita harus membalasnya? Merenungi firman Allah yang telah saya sampaikan sebelumnya, ada baiknya kita membalas kejahatan mereka dengan kebaikan yang tulus. Karena buah dari ini sangatlah banyak dan berlimpah, bisa saja orang yang tadi menjahati kita, justru menjadi sahabat baik kita. Bisa saja orang yang tadi menggunjing kita, malah menjadi orang yang menyebarkan berita-berita baik dari kita.
            Jika saya bertanya, yang manakah lebih kuat, seseorang yang membalas kejahatan dengan kekuatan ataukah seseorang yang membalas kejahatan dengan memaafkan? Mungkin jawaban dari sahabat bermacam-macam dan memiliki alasan yang bermacam pula. Kalau menurut saya, yang lebih kuat itu adalah pilihan kedua, mengapa? Karena tidak mudah untuk memaafkan seseorang bagi kita yang bukan Nabi ataupun Rasul. Adakalanya kita mudah mengatakan “Aku sudah memaafkan kamu” tapi di dalam hati dendam kesumat menumpuk. Benar bukan? Mungkin benar. Ketika kita dijahati kalau dalam bahasa gaulnya, apalagi sikap jahatnya itu membuat sakit hati yang teramat, maka sikap memaafkan bagi kita itu rasanya hal yang sulit, perlu kekuatan yang besar, kelapangan dada yang ekstra lapang baru bisa kita memaafkan dengan Ikhlas.
            Beruntunglah mereka yang mudah memaafkan seseorang dengan keikhlasan yang jujur didalam hati, mereka memiliki kelapangan dada. Berteman dengan orang seperti ini justru menguntungkan, karena mereka yang memiliki sikap mudah memaafkan, punya pengertian yang tinggi, ia mengerti keadaan kita, ia mengerti perangai kita, ia mengerti kehidupan kita. Contohlah orang-orang yang memiliki sikap demikian. Ketika anda dibuat marah oleh seseorang, maka yang baik adalah mengendalikan emosi anda, dan membalasnya dengan senyuman. Bisa? Saya yakin anda bisa jika memang memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan hal tersebut. 
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda “ Orang yang perkasa itu bukanlah dengan pergulatan. Orang yang perkasa adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah” ( Hr. Bukhari )
            Benar yang dikatakan baginda kita shallallahu’alaihi wa sallam, karena menahan emosi ketika marah, bukanlah hal yang mudah, tidak sedikit dari kita yang tidak dapat menahannya. Lihatlah akibat nya kedepan, ketika anda disikapi dengan sikap yang tidak menyenangkan hati anda, kemudian anda balas dengan balasan yang sama bahkan lebih, yang ada akibatnya, permasalahannya justur membesar, anda akan menjadi musuh si dia, dan sikap memaafkan bisa hilang total.
            Ingat, sikap memaafkan bukanlah sikap yang lemah, sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, sikap memaafkan adalah sikap bagi orang-orang yang memiliki kekuatan bathin, jika bathin kuat, maka fisik pun juga akan kuat. Seorang muslim itu bagaikan pohon yang memiliki buah, ketika ia dilempar dengan batu, maka ia akan menjatuhkan buahnya, sehingga buahnya bermanfaat bagi si pelempar batu. 
Hasan Al Bashri rahimahullah, memiliki tetangga diatap rumahnya, tetangganya itu seorang nonmuslim dan buta, tetangganya tersebut jika ingin membuang air kecil, maka air itu selalu membasahi langit-langit rumah Hasan Al Bashri, sehingga air najis itu menetes dari atas. Tapi hal ini tidak membuat Hasan Al Bashri marah, justru beliau menempatkan sebuah wadah untuk menampung air najis tersebut, selama 20 tahun itu terjadi. Akhirnya hal itu diketahui oleh orang nonmuslim itu, nonmuslim itu bersyahadat karena akhlak sang Imam.

Senin, 05 Januari 2015

Jangan Hanya Mempelajari Ilmu Jihad Saja!

Beberapa hari lalu, saya pernah membaca sebuah status di Facebook yang mengajak para ikhwan kita untuk memikirkan ilmu lain selain ilmu Jihad saja. Komentar-komentar yang pertama mendukung apa yang disampaikan oleh Facebooker tersebut, hingga saya membaca komentar di bagian pertengahan yang intinya menolak untuk mempelajari llmu lain, dengan alasan bahwa zaman saat ini adalah zamannya peperangan, dan yang paling penting kita dalami adalah Ilmu Jihad, sedangkan ilmu lain bisa menyusul ketika peperangan sudah reda. Komen fulan tersebut kemudian di dukung oleh Facebooker lainnya. Awalnya saya setuju, namun setelah saya merenunginya, saya menarik kesetujuan saya kembali. Ada beberapa alasan mengapa saya tidak setuju dengan pernyataan demikian.

   Adakah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, para Shahabat Radiyallahu’anhum ‘ajma’in, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para Ulama setelahnya memberikan contoh demikian?

            Kita tahu bahwa mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para Salafuh Shaleh adalah sebuah kewajiban. Dan tentut kita harus mengikuti cara-cara mereka beribadah, beramal, ataupun bertindak dalam syari’at. Kita lihat sendiri pada zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau selalu di musuhi oleh kaum kuffar, hingga peperangan selalu terjadi berkali-kali, namun adakah beliau memerintahkan para Shahabat hanya untuk memperlajari Ilmu Jihad saja? 

            Kita lihat juga pada masa Abu Bakr radiyallahu’anhu, dimana terjadi peperangan melawan kaum Murtad dan kaum yang menolak Zakat. Namun adakah Shahabat Abu Bakr memerintahkan para Shahabat lainnya untuk mempelajari Ilmu Jihad saja? Tidak ada sama sekali, bahkan ilmu yang paling menonjol pada masa Abu Bakr adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu Maslahah Mursalah. Dan Maslahah tersebut adalah “ Pengumpulan Al Qur’an “ . Shahabat Abu Bakar memerintahkan beberapa Shahabat untuk menyalin Al Qur’an dari orang-orang yang hafal Al Qur’an untuk dikumpulkan menjadi sebuah Mushaf.

            Dan lihatlah juga pada masa ‘Umar ibnul Khaththab radiyallahu’anhu, adakah beliau memerintahkan umat untuk mempelajari syari’at Jihad saja? Bahkan kita tahu peperangan yang terjadi pada masa ‘Umar tu sangat dahsyat, hingga sampai ke Persia dan Mesir. Begitu juga pada masa ‘Utsman bin ‘Affan radiyallahu’anhu, ilmu yang berkembang pada masa beliau adalah Ilmu Qira’at. Terjadi banyak perbedaan bacaan Al Qur’an pada masa beliau, hingga hampir saja terjadi peperangan hanya karena beda Qira’at atau dialek. Hingga khalifah ketiga umat Islam ini memerintahkan untuk membaca Al Qur’an dengan satu dialek saja, yaitu dialek Quraisy. Jika kita lanjutkan pada masa khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, tidak juga kita temukan menantu Rasulullah ini memerintahkan kaum muslimin hanya untuk mempelajari Ilmu Jihad saja.

            Dan seterusnya pada masa Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, para Ulama Mutaakhkhirin. Satu contoh lagi, kita ambil seorang Ulama yang di gelari dengan Syaikhul Islam. Pada masanya , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hidup di bawah teror para tentara mongol. Tentu para pembaca sudah mengetahui bagaimana keadaan zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun apakah beliau hanya mempelajari Ilmu Jihad saja? Tidak bukan, beliau mempelajari Ilmu lain, Tafsir, Hadits, Ushul, Nahwu wa Sharaf, bahkan Ilmu agama lainpun beliau pelajari, buktinya beliau berhasil mendebat seorang Yahudi pada umur yang sangat muda.
            Pada intinya, tidak ada satu Ulama pun yang membuat pernyataan “ Wajib Ilmu Jihad saja yang di pelajari, di karenakan keadaan kita yang menuntut demikian “ Wallahu’alam, jika ada, tolong beritahu saya.

 Alasan kedua adalah “ Apakah Mungkin Dapat Memahami Seluk Beluk Jihad Tanpa Ilmu Lain? 

            Bagi saya itu sangat mustahil. Jihad adalah salah satu cabang ilmu dari Syari’at Islam. Dan Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Islam itu saling berhubungan atau saling tali-menyali, tidak apat dilepas apapun alasannya. Dari mana kita mengetahui syari’at Jihad kecuali pasti dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dari sini kita harus mempelajari ‘Ulumul Qur’an dan ‘Ulumul Hadits. Dari mana kita dapat mengetahui hukum-hukum seputar Jihad kecuali dari kajian Fiqh dan Ushulnya, tentu kita juga harus mempelajari hal itu. Kata Jihad berasal dari bahasa arab, kita juga harus mengetahui pengertiannya, apa asal akar katanya, dan bagaimana cara memahami maknanya serta pengaplikasiannya, tentu kita pergi menuntut ilmu Bahasa arab dan seluk beluknya.

Membantu Umat Tidak Hanya dengan Jihad saja.

            Problema yang terjadi pada Umat kita tidak hanya terletak pada Fisik saja, namun pada Bathin pun ada juga. Problema yang terjadi pada Umat kita tidak hanya pada masalah pertumpahan darah saja. Masih banyak dari kita yang tidak faham shalat, bahkan tidak tahu cara shalat, dan sudah pasti kita membutuhkan orang yang ‘Alim tentang Shalat. Masih banyak dari kita yang tidak faham bagaimana menghitung Zakat, tentu kita membutuhkan seseorang yang ‘Alim tentang seluk beluk Zakat, dsb.

            Zaman makin berkembang, hal-hal yang baru bermunculan. Dan mengakibatkan permasalahan baru juga muncul. Dulu tidak ada yang namanya KB, dan sekarang ada, bagaimana hukumnya? Dulu tidak ada yang namanya Bayi Tabung, dan sekarang ada, bagaimana statusnya dalam Syari’at? Inilah yang dinamakan “ Fiqh Kontemporer “. Tentu untuk menjawab tantangan Umat ini, tidak lain caranya kita harus menuntut ilmunya, mulai dari ‘Ulumul ‘Alat, hingga Ilmu-ilmu lainnya. Bukankah setiap kita wajib “ Berda’wah “. Jika kita hanya terfokus pada Ilmu Jihad saja, bagaimanakah caranya kita akan menjawab beragam masalah Umat. Ingat! Masalah Umat tidak hanya pada peperangan saja. Maka dari itu kita masih membutuhkan orang yang ahli dalam beragam syari’at.


            Maka dari itu wahai saudaraku sekalian, bukannya saya merasa lebih pintar dari kalian. Saya hanya seorang Thalibul ‘Ilmi. Saya hanya prihatin terhadap beberapa Ikhwan kita yang menghabiskan waktunya menuntut Ilmu Jihad saja, namun Shalatnya masih banyak yang salah, ketika di tanya rukun Shalat, tidak tahu, Masya Allah. Apakah Ilmu agama itu hanya Jihad saja sehingga melupakan Ilmu Syar’i lainnya? Ingat saudaraku selogan kita “ Da’wah dan Jihad “ harus saling “ Begandengan “. Bukannya kita selalu mengucapkan selogan itu? Mari kita Da’wah bil Qalam, Da’wah Bil Lisan, Wa Da’wah Bis Silaah bagi yang sudah mampu. Wallahu’alam